Kamis, 05 Juni 2008

Philosophy of Perrenial

Friday, October 20, 2006

“Hikmah Abadi : Apa Itu ?”

by Adian Husaini, MA

Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dalam kolom resonansinya di Harian Republika (12/10/2006) mengangkat gagasan tentang ‘filsafat perenial’, sebagaimana diusulkan oleh Karen Armstrong melalui bukunya, The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (New York: Knoff, 2006). Tanpa menafikan banyaknya jasa Karen Armstrong dalam membangun citra positif Islam di Barat, kita perlu melihat ide ‘filsafat perenial’ atau ‘perenial wisdom’ atau ‘hikmah abadi’ secara lebih cermat.

Azra menulis bahwa ada keberlanjutan dan afinitas di antara berbagai agama di dunia, yang biasa disebut sebagai 'kebijaksanaan' atau 'filsafat' perenial atau perenial wisdom yang dalam terminologi bahasa Arab disebut al-hikmah al-atiqah. Kebijaksanaan perenial yang tumbuh sejak kemunculan agama, menurut Azra, mengandung banyak kebajikan. Para penganjur agama-agama kuno 'zaman kapak' (Axial Age) misalnya selain mementingkan ritual, tetapi sekaligus sangat menekankan signifikansi etis dan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritual. Mereka mengajarkan, apa yang penting bukan sekadar agama, tetapi bagaimana Anda berbuat kebaikan; bahwa spiritualitas harus berpusat pada emfati dan kasih sayang; bahwa manusia harus meninggalkan egoisme, kerakusan, kekerasan, dan ketidaksantunan.

‘’Sekali lagi, sedikit kutipan tentang ajaran agama-agama zaman kapak ini kedengarannya tidak asing. Mereka juga tercakup dalam agama-agama yang muncul lebih belakangan; Yahudi, Kristiani, dan Islam,’’ tulis Azra, yang kemudian menutup tulisannya: ‘’Seluruh tradisi besar keagamaan sama-sama mengakui sangat pentingnya kedermawanan dan kebajikan satu sama lain. Menemukan bahwa agama kita masing-masing memiliki afinitas dan kesamaan dengan agama-agama lain merupakan pengalaman yang menguatkan. Jadi, tanpa meninggalkan tradisi sendiri, kita dapat belajar dari yang lain-lain tentang kehidupan kemanusiaan dan peradaban yang lebih baik dan lebih mencerahkan.’’

Jika dibaca sepintas, gagasan ‘hikmah abadi’ atau filsafat perenial itu tampak ideal dan solutif. Tapi, tidak demikian halnya dengan kenyataan di lapangan, baik secara akademis maupun secara empirik. Dalam bukunya, Tren Pluralisme Agama (GIP, 2005), Dr. Anis Malik Thoha, ketua Departement of Comparative Religion di Universitas Islam Internasional Malaysia, sudah banyak membahas masalah ini. Berikut ini, adalah paparan tentang filsafat perenial yang ditulis oleh Dr. Anis dalam buku yang merupakan disertasi doktor di Universitas Islam Internasional Islamabad.

Aldous Huxley, dalam bukunya, The Perennial Philosophy, menjelaskan, bahwa yang pertama kali menggunakan frase ‘perennial philosophy’ adalah Leibniz, meskipun hakekatnya sudah ada sejak dulu kala, ‘immemorial’ dan ‘universal’. Dari karya Huxley itulah, maka kemudian istilah ‘filsafat perenial’ menjadi terkenal di Barat.

Tetapi, perlu dicatat, sebagai mazhab filsafat dan mistisisme serta worldview istilah ‘filsafat perenial’ mulai terkenal berkat kerja keras para pionirnya yang oleh Seyyed Hossen Nasr – yang juga seorang tokoh filsafat perenial -- disebut sebagai ‘The Masters’ (para guru), yakni Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy dan Fritjof Schuon.

Tentang filsafat perenial atau Hikmah Abadi, Huxley menjelaskan: “Prinsip-prinsip dasar Hikmah Abadi dapat ditemukan diantara legenda dan mitos kuno yang berkembang dalam masyarakat primitif di seluruh penjuru dunia. Suatu versi dari Kesamaan Tertinggi dalam teologi-teologi, dulu dan kini, ini pertama kali ditulis lebih dari dua puluh lima abad yang lalu, dan sejak itu tema yang tak pernah bisa tuntas ini dibahas terus-menerus, dari sudut pandang setiap tradisi agama dan dalam semua bahasan utama Asia dan Eropa.”

Jadi, jelas, bahwa tema utama Hikmah Abadi adalah ‘hakikat esoterik’ yang abadi yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam bentuk ‘hakikat-hakikat eksoterik’ dengan bahasa yang berbeda-beda. Secara lebih rinci, gagasan filsafat perenial ini dijabarkan oleh Fritjof Schuon, melalui buku terkenalnya ‘The Trancendent Unity of Religion’. Demikian kutipan singkat tentang filsafat perenial dari buku Dr. Anis Malik Thoha.

Dalam artikelnya di Majalah Media Dakwah edisi November 2005, Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) mengungkap hasil penelitiannya tentang adanya benang merah antara pemikiran para tokoh filsafat perenial dengan ide-ide gerakan Free Masonry dan Theosofi. Dalam tulisannya, Adnin Armas mencatat, bahwa pada tahun 1906, Rene Guénon (1886-1951) yang adalah tokoh filsafat perenial, masuk ke sekolah Gérard Encausse, seorang Freemason yang mendirikan cabang ‘The Theosophical Society’ di Perancis. Nama samarannya dikenal sebagai Papus. Ia mendirikan Free School of Hermetic Sciences, sebuah sekolah yang mengkaji tentang mistisisme.

Disana, Guénon bukan saja mulai mengenali kajian mistis (occult studies), namun juga berkenalan dengan sejumlah tokoh Freemason, teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain. Guénon aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi dan aktifitas tentang mistis dan Freemason di Perancis. Ringkasnya, Freemason merupakan ketertarikan Guénon yang paling besar sepanjang hidupnya (it remained of Guénon’s great interests throughout his life). Bagi Guénon, Freemason adalah wadah dari luasnya hikmah tradisional, kaya khususnya dalam simbolisme dan ritual. Guénon juga yakin bahwa Freemason adalah cara untuk menjaga banyak aspek dari Kristen yang telah hilang dan terabaikan.

Guénon (m.1951) menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan agama. Guénon (m. 1951), menyebutnya sebagai Primordial Tradition (Tradisi Primordial). Guénon, yang awalnya Katolik, selanjutnya “memeluk” Islam pada tahun 1912. (nama Islamnya Abdul Wahid Yahya). Selama kehidupannya di Perancis, Guénon tidak dikenal telah mempraktekkan ritual Islam.

Guénon berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir.

Pengalaman spiritual Rene Guénon (m.1951) dalam gerakan teosofi dan Freemason mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran. (Robin Waterfield, Rene Guénon and the Future of the West: The life and writings of a 20th-century metaphysician). Salah seorang tokoh penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof Schuon (1907-1998). Sejak berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Guénon, Orient et Occident.

Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama 20 tahun. Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938. Schuon “memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Ia bisa dikatakan sebagai seorang tokoh terkemuka dalam religio perennis (Agama Abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Ia mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.

Dalam pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’. Ia berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik. Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada dogma esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral.

Schuon juga berpendapat esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’ agama.

Menurut Schuon, titik-temu agama-agama bukan berada pada level eksoteris, tetapi pada level esoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme.

Demikian petikan ringkas paparan Adnin Armas tentang filsafat perenial yang digagas oleh Guenon dan Schuon. Benang merah antara filsafat perenial dengan ide-ide Theosofi juga bisa dilihat dari isi Majalah Theosofi Indonesia edisi ke-3, yang diterbitkan oleh Persatuan Warga Theosofi Indonesia (Perwathin).

Misi Theosofi untuk berdiri di atas semua agama, dengan jelas digambarkan oleh tokohnya, Helena Petrovna Blavatsky, dalam wawancara yang dimuat di Majalah ini. Kata Blavatsky, moto Theosofi ialah : ‘’Tidak ada agama/religi yang lebih tinggi dari kebenaran.’’ Tujuan utama para pendiri Mazhab Theosofi Eklektik, yakni mendamaikan semua agama-agama, aliran-aliran dan bangsa-bangsa di bawah sebuah sistem etika umum, berdasarkan pada kebenaran-kebenaran abadi. Blavatsky juga mengklaim, bahwa Theosofi sudah setua dunia itu sendiri, dalam ajaran dan etika-etikanya, karena Theosofi adalah sistem yang paling universal dan luas diantara semuanya.

Arti kata ‘Theosofi’, dijelaskan oleh Blavatsky sebagai berikut: ‘’Kearifan ilahi (Theosophia) atau kearifan para dewa, sebagai theogonia, asal-usul para dewa. Kata theos berarti seorang dewa dalam bahasa Yunani, salah satu dari makhluk-makhluk ilahi, yang pasti bukan ‘’Tuhan’’ dalam arti yang kita pakai sekarang. Karena itu, Teosofi bukanlah ‘Kebijaksanaan Tuhan’, seperti yang diterjemahkan sebagian orang, tetapi ‘Kebijaksanaan ilahi’ seperti yang dimiliki oleh para dewa.’’

Dengan pandangan dan misi seperti itu, Theosofi tampak bermaksud menjadi pelebur agama-agama atau menjadi kelompok ‘super-agama’ yang berada di atas atau di luar agama-agama yang ada. Hal ini sangat sejalan dengan gagasan Pluralisme Agama. Sebagai misal, Blavatsky juga menyinggung masalah aspek esoterik (batin) dan eksoterik (luar), yang berasal dari ajaran Ammonius.

Istilah eksoterik dan esoterik ini kemudian juga digunakan dalam pemikiran filsafat perenial, seperti dikatakan Nurcholish Madjid :”… bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".”

Sebagai muslim, kita memahami dan meyakini, bahwa manusia pertama, Nabi Adam a.s. adalah manusia yang bertauhid. Agama tauhid itulah yang terus-menerus dibawa oleh para Nabi dan diajarkan kepada umat manusia, sampai Nabi terakhir, Nabi Muhammad saw. Jadi, tauhid itulah kebenaran yang abadi, dan bukan ‘Filsafat Abadi’ yang tidak jelas asal-usul dan juntrungannya. Islam adalah agama yang sumber dan ajarannya jelas. Kita tidak memerlukan gagasan ‘Filsafat Abadi’ yang menurut para pendukungnya, konon berasal dari Zaman Kapak.

Banyak cendekiawan, seperti William C. Chittick dan Dr. Adnan Aslan, yang sudah mengkritik gagasan ‘hikmah abadi’ ini. Dr. Anis Malik Thoha pun menyimpulkan, bahwa gagasan ‘filsafat perenial’ akhirnya berujung kepada paham kesetaraan agama-agama. Gagasan ini bukan saja semakin menjauh dari Islam, tetapi juga semakin menjauh dari cita-cita yang ditujunya. Oleh karena itu, gagasan ini lebih merupakan problem ketimbang menjadi solusi bagi keragaman agama. Karena itu, wajar, jika kita bertanya, mengapa ide semacam ini masih ditawarkan kepada umat Islam?

Kita memang perlu belajar berbagai hal – seperti masalah sains dan teknologi – kepada peradaban lain, tetapi kita tidak perlu belajar tentang masalah Tuhan, Kebenaran, dan kemanusiaan.. Karena ajaran Islam tentang masalah ini sudah teramat jelas. Sebagai muslim, kita meyakini, bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah membawa misi rahmatan lil alamin. Bukan ajaran Ammonius atau Blavatsky. Wallahu a’lam.

Transendensi Agama

Menelusuri Kesatuan Transendensi Agama-agama

Oleh Muhammad HM S

Mengamati fenomena keagamaan dari perspektif filsafat perennial sungguh sangat menarik, karena akan memasuki suatu kenyataan yang penuh signifikasi positif bagi masa depan perkembangan kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia yang pluralistik dan heterogenistik. Pluralisme agama menjadi salah satu dimensi kajian filsafat perennial. Agama-agama yang dalam perkembangannya bersifat pluralistik dipandang sebagai satu kesatuan yang bersifat holistik dan sakral serta memiliki kekayaan nilai-nilai dasar (fundamental values) secara normatif daya kini, dapat memberikan suatu kepastian hidup yang aman, damai dan sejahtera bagi para pemeluknya di masa datang.

Harapan tersebut semakin memperoleh justifikasi yang meyakinkan dengan mencermati fenomena manusia sebagai komunitas dunia yang mendiami desa buana (global village) tanpa jurang pemisah. Dalam dimensi keagamaan, fenomena ini menafikan adanya suatu komunitas bangsa yang mengklaim diri sebagai pemilik agama yang cara peribadatannya paling absah. Kendatipun dalam kenyataannya, banyak agama memperlihatkan kecenderungan terselubung untuk menyatakan diri sebagai agama yang paling benar.

Klaim diri sebagai yang paling benar, bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri ada pada semua agama khususnya dalam dimensi absolutisme lebih-lebih yang berakibat dengan masalah keyakinan atau keimanan (faith), karena dimensi ini merupakan struktur fundamental doktrin agama. Atas dasar klaim kebenaran dan universalisme itulah lalu sebagian pemeluk agama menawarkan absolutisme agamanya kepada pemeluk agama lain sebagai jalan benar menuju keselamatan atau pembebasan.

Harold Coward (1989) mengemukakan pemeluk agama yang demikian pada hakekatnya bertentangan dengan dirinya sendiri karena ia menerima ungkapan mengenai realitas tertinggi, azali yang lain daripada ungkapannya sendiri dan merasa terdorong untuk menegaskan dirinya sebagai yang unik dan universal sehingga pada gilirannya penganut suatu agama memandang remeh agama lain yang pada ujungnya menolak nilai kebenaran yang terkandung dalam agama lain.

Konsekuensinya, berbagai nuktah ajaran agama dalam kitab suci yang mengajarkan agar para pemeluk agama tidak menggerogoti bangunan keyakinan pemeluk agama lain. Dalam pemahaman lain, nuktah ajaran agama mengajarkan prinsip toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran dan keadilan serta kejujuran menjadi terabaikan dan menjadi bias subyektif sesuai selera pemeluknya.

Landasan prinsip tersebut pada hakekatnya mengajarkan pada pemeluk suatu agama bahwa kebenaran universal adalah tunggal meskipun ada kemungkinan manivestasinya dalam sejarah kehidupan manusia sangat beragam. Secara antropologis-sosiologis pandangan ini seperti dikemukakan (Veeger, 1993) melihat manusia pada hakekatnya adalah tunggal namun bersifat kolektif dan holistis tetapi tetap berpegang pada kebenaran yang tunggal.

Prinsip serupa dalam ajaran agama-agama mendapat pembenaran (legitimasi) semua agama memandang manusia sebagai umat yang satu berdasarkan suatu realitas adi-alami. Monisme menganggap bahwa kepelbagaian dan keanekaan yang tampil pada indera manusia hanya merupakan ilusi belaka, seluruh jagad raya dikembalikan pada azas yang terakhir yaitu Tao, Brahma, Mana dan lain-lain.

Dalam kajian filsafat seperti yang dijabarkan oleh Heraklitos dan Epgesos, realitas tertinggi sebagai materi prima atau suatu daya asli yang meresapi seluruh alam disimbolkan sebagai arche yang berupa api yang mengandung makna sebagai asas pemersatu di balik segala mahluk yang beraneka ragam. Apa yang nampaknya berbeda-beda dan senantiasa berubah dan berganti, sebenarnya merupakan pencerminan atau pemantulan dari satu kesatuan dasariah. Yang terpencar adalah satu, banyaknya nada yang berbeda-beda membentuk perpaduan yang amat indah dan kesemuanya adalah hasil pergulatan "ex omnibum unum, ex uno omnia".

Perbedaan pemahaman atas kesatuan transendensi agama-agama terjadi setelah melalui proses dialektika kehidupan. Artinya, perselisihan tentang kesatuan transendensi justru setelah penjelasan tentang kebenaran itu datang. Setiap pemeluk agama mencoba memahami menafsirkan setaraf sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing. Sehingga melahirkan respon intelektual yang berbeda tentang kebenaran yang tunggal tadi.

Max Muller, seorang filosof Jerman membuktikan bahwa umat manusia pada zaman-zamannya yang paling dini, menganut tauhid yang murni. Penyembahan Ilah yang beragama itu hanya merupakan ulah para pemuka agama yang bersaing satu sama lain. Pembuktian ini dengan sendirinya memperkuat kebenaran mukzijat ilmiah al Quran yang mengatakan bahwa inti ajaran para Nabi dan Rasul itu sama, maka para pengikut merekapun dengan sendirinya adalah umat yang satu dan tunggal (QS 2:213).

Dalam perspektif filsafat perennial, kesatuan transendensi dipandang sebagai satu dan hanya satu-satunya. Ia adalah kesejatian tunggal yang menjadi inti dan asal semua kesejatian yaitu tradisi primordial, sebagaimana juga pewahyuan yang berhubungan erat dan menjadi salah satu aspek logos universal, yang dalam arti tertentu dapat disebut sebagai logos universal itu sendiri. Perbedaan pemahaman yang lahir setelah melalui proses dialektika atau pergumulan hanya sebagai akibat sekaligus indikasi keterbatasan manusia dalam menangkap realitas yang absolut, yang bersifat perennial dan tidak terbatas.

Karena dalam proses pembacaan dan pemahaman terhadap doktrin agama, terdapat dua eksistensi realitas yang sama sekali jauh berbeda. Agama dengan demikian memiliki wajah ganda, di satu sisi agama berwajah ilahiah sedangkan pada sisi lain berwajah manusia. Keduanya tidak saling bertentangan. Pada aspek yang pertama, agama yang berwajah ilahiah menempatkan Tuhan secara eksistensial sebagai realitas tertinggi yang kemutlakannya berlaku secara universal tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan agama dalam pengertian berwajah manusia dimaksudkan bahwa manusia dalam proses pencarian kebenaran azali secara eksistensial memiliki keterbatasan, atasnya berlaku hukum-hukum eksistensial sebagaimana mahluk lainnya yang memiliki tingkat relativitas kenisbian yang tinggi.

Kesadaran terhadap keterbatasan diri, pengertian dan pemahaman dalam mengangkau agama sebagai doktrin kebenaran, dengan sendirinya menjadi alat pengendali bagi para pemeluk agama untuk tidak bersikap apriori dalam menyalahkan pengertian dan pemahaman pemeluk agama lain. Kita seperti dikatakan Syamsul Arifin (1996) dengan mengadopsi Djohan Effendi (1985) tidak bisa berharap banyak untuk mengembangkan sikap pluralistik dan tumbuhnya budaya dialog dengan agama-agama universal, jika klaim kebenaran menjadi bagian dari keberagamaan yang dominan.

Dalam konteks filsafat perennial kecenderungan untuk memutlakkan pemahaman agama sendiri dan sikap apriori terhadap pemahaman agama lain ditolak. Filsafat perennial menghendaki adanya pluralisme. Agama apapun namanya tetap dipandang sebagai suatu tradisi esoterik yang otentik yang mengandung satu pengetahuan dan pesan yang sama, yakni kebijakan abadi yang mesti menjadi pijakan kontekstualisasi agama itu dalam situasi apapun sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis atau pesan-pesan moral dalam keluhuran hidup manusia meskipun muncul melalui beragam nama (plural) dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol yang berbeda.

Keragaman bentuk agama bukanlah menjadi starting point tetapi bagaimana pemeluk suatu agama memandang dan memahami substansi ajaran agama yang keberadaannya di balik bentuk formalnya. Substansi ini bersifat transenden dan imanen sekaligus. Disebut transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan karena tidak tercandra kecuali lewat predikatnya. Meskipun demikian agama juga bersifat imanen, sebab kaitan antara substansi dan predikat adalah merupakan hal yang niscaya, dan karena itu tak mungkin terpisahkan karena substansi agama hanya satu yaitu yang paling tinggi dan primordial, ia bersifat perennial.

Fritjhof Schoun (1976) seperti diadopsi Syamsul Arifin (1996) dan Sabrin (1999) melihat, bahwa setiap agama memiliki muatan substansial yang bersifat mutlak. Ia merupakan gabungan antara substansi (esoteris) dan bentuk (eksoteris) yang bersifat absolut tetapi relatif atau yang disebut Nasr dengan relatively absolute.

Pandangan filsafat perennial yang memandang kesatuan transendensi agama-agama dapat diprogramkan untuk menjadi agenda ke depan dalam upaya menciptakan stabilitas dan kerukunan umat beragama di Indonesia sehingga pemeluk agama yang berbeda dapat diterima sebagai tetangga dekat sekaligus tetangga rohani dengan tetap mendasarkan diri pada kerangka keterbatasan diri dalam memahami agama secara tepat dan menyeluruh.

Karena seperti diungkapkan Charles Davis (1980) dalam "Religious Pluralis" kesatuan tanpa keragaman menyebabkan manusia mengingkari kebebasan. Karena itu, pluralitas menyangkut iman dan moral harus tetap diterima. Menyangkut hubungan intern antara yang satu dan yang banyak dalam semua agama harus diberikan kepada yang satu sebagai sumber kreatif.

Muhammad HM S, pengajar FAI Universitas Muhammadiyah Palangka Raya