Kamis, 05 Juni 2008

Transendensi Agama

Menelusuri Kesatuan Transendensi Agama-agama

Oleh Muhammad HM S

Mengamati fenomena keagamaan dari perspektif filsafat perennial sungguh sangat menarik, karena akan memasuki suatu kenyataan yang penuh signifikasi positif bagi masa depan perkembangan kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia yang pluralistik dan heterogenistik. Pluralisme agama menjadi salah satu dimensi kajian filsafat perennial. Agama-agama yang dalam perkembangannya bersifat pluralistik dipandang sebagai satu kesatuan yang bersifat holistik dan sakral serta memiliki kekayaan nilai-nilai dasar (fundamental values) secara normatif daya kini, dapat memberikan suatu kepastian hidup yang aman, damai dan sejahtera bagi para pemeluknya di masa datang.

Harapan tersebut semakin memperoleh justifikasi yang meyakinkan dengan mencermati fenomena manusia sebagai komunitas dunia yang mendiami desa buana (global village) tanpa jurang pemisah. Dalam dimensi keagamaan, fenomena ini menafikan adanya suatu komunitas bangsa yang mengklaim diri sebagai pemilik agama yang cara peribadatannya paling absah. Kendatipun dalam kenyataannya, banyak agama memperlihatkan kecenderungan terselubung untuk menyatakan diri sebagai agama yang paling benar.

Klaim diri sebagai yang paling benar, bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri ada pada semua agama khususnya dalam dimensi absolutisme lebih-lebih yang berakibat dengan masalah keyakinan atau keimanan (faith), karena dimensi ini merupakan struktur fundamental doktrin agama. Atas dasar klaim kebenaran dan universalisme itulah lalu sebagian pemeluk agama menawarkan absolutisme agamanya kepada pemeluk agama lain sebagai jalan benar menuju keselamatan atau pembebasan.

Harold Coward (1989) mengemukakan pemeluk agama yang demikian pada hakekatnya bertentangan dengan dirinya sendiri karena ia menerima ungkapan mengenai realitas tertinggi, azali yang lain daripada ungkapannya sendiri dan merasa terdorong untuk menegaskan dirinya sebagai yang unik dan universal sehingga pada gilirannya penganut suatu agama memandang remeh agama lain yang pada ujungnya menolak nilai kebenaran yang terkandung dalam agama lain.

Konsekuensinya, berbagai nuktah ajaran agama dalam kitab suci yang mengajarkan agar para pemeluk agama tidak menggerogoti bangunan keyakinan pemeluk agama lain. Dalam pemahaman lain, nuktah ajaran agama mengajarkan prinsip toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran dan keadilan serta kejujuran menjadi terabaikan dan menjadi bias subyektif sesuai selera pemeluknya.

Landasan prinsip tersebut pada hakekatnya mengajarkan pada pemeluk suatu agama bahwa kebenaran universal adalah tunggal meskipun ada kemungkinan manivestasinya dalam sejarah kehidupan manusia sangat beragam. Secara antropologis-sosiologis pandangan ini seperti dikemukakan (Veeger, 1993) melihat manusia pada hakekatnya adalah tunggal namun bersifat kolektif dan holistis tetapi tetap berpegang pada kebenaran yang tunggal.

Prinsip serupa dalam ajaran agama-agama mendapat pembenaran (legitimasi) semua agama memandang manusia sebagai umat yang satu berdasarkan suatu realitas adi-alami. Monisme menganggap bahwa kepelbagaian dan keanekaan yang tampil pada indera manusia hanya merupakan ilusi belaka, seluruh jagad raya dikembalikan pada azas yang terakhir yaitu Tao, Brahma, Mana dan lain-lain.

Dalam kajian filsafat seperti yang dijabarkan oleh Heraklitos dan Epgesos, realitas tertinggi sebagai materi prima atau suatu daya asli yang meresapi seluruh alam disimbolkan sebagai arche yang berupa api yang mengandung makna sebagai asas pemersatu di balik segala mahluk yang beraneka ragam. Apa yang nampaknya berbeda-beda dan senantiasa berubah dan berganti, sebenarnya merupakan pencerminan atau pemantulan dari satu kesatuan dasariah. Yang terpencar adalah satu, banyaknya nada yang berbeda-beda membentuk perpaduan yang amat indah dan kesemuanya adalah hasil pergulatan "ex omnibum unum, ex uno omnia".

Perbedaan pemahaman atas kesatuan transendensi agama-agama terjadi setelah melalui proses dialektika kehidupan. Artinya, perselisihan tentang kesatuan transendensi justru setelah penjelasan tentang kebenaran itu datang. Setiap pemeluk agama mencoba memahami menafsirkan setaraf sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing. Sehingga melahirkan respon intelektual yang berbeda tentang kebenaran yang tunggal tadi.

Max Muller, seorang filosof Jerman membuktikan bahwa umat manusia pada zaman-zamannya yang paling dini, menganut tauhid yang murni. Penyembahan Ilah yang beragama itu hanya merupakan ulah para pemuka agama yang bersaing satu sama lain. Pembuktian ini dengan sendirinya memperkuat kebenaran mukzijat ilmiah al Quran yang mengatakan bahwa inti ajaran para Nabi dan Rasul itu sama, maka para pengikut merekapun dengan sendirinya adalah umat yang satu dan tunggal (QS 2:213).

Dalam perspektif filsafat perennial, kesatuan transendensi dipandang sebagai satu dan hanya satu-satunya. Ia adalah kesejatian tunggal yang menjadi inti dan asal semua kesejatian yaitu tradisi primordial, sebagaimana juga pewahyuan yang berhubungan erat dan menjadi salah satu aspek logos universal, yang dalam arti tertentu dapat disebut sebagai logos universal itu sendiri. Perbedaan pemahaman yang lahir setelah melalui proses dialektika atau pergumulan hanya sebagai akibat sekaligus indikasi keterbatasan manusia dalam menangkap realitas yang absolut, yang bersifat perennial dan tidak terbatas.

Karena dalam proses pembacaan dan pemahaman terhadap doktrin agama, terdapat dua eksistensi realitas yang sama sekali jauh berbeda. Agama dengan demikian memiliki wajah ganda, di satu sisi agama berwajah ilahiah sedangkan pada sisi lain berwajah manusia. Keduanya tidak saling bertentangan. Pada aspek yang pertama, agama yang berwajah ilahiah menempatkan Tuhan secara eksistensial sebagai realitas tertinggi yang kemutlakannya berlaku secara universal tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan agama dalam pengertian berwajah manusia dimaksudkan bahwa manusia dalam proses pencarian kebenaran azali secara eksistensial memiliki keterbatasan, atasnya berlaku hukum-hukum eksistensial sebagaimana mahluk lainnya yang memiliki tingkat relativitas kenisbian yang tinggi.

Kesadaran terhadap keterbatasan diri, pengertian dan pemahaman dalam mengangkau agama sebagai doktrin kebenaran, dengan sendirinya menjadi alat pengendali bagi para pemeluk agama untuk tidak bersikap apriori dalam menyalahkan pengertian dan pemahaman pemeluk agama lain. Kita seperti dikatakan Syamsul Arifin (1996) dengan mengadopsi Djohan Effendi (1985) tidak bisa berharap banyak untuk mengembangkan sikap pluralistik dan tumbuhnya budaya dialog dengan agama-agama universal, jika klaim kebenaran menjadi bagian dari keberagamaan yang dominan.

Dalam konteks filsafat perennial kecenderungan untuk memutlakkan pemahaman agama sendiri dan sikap apriori terhadap pemahaman agama lain ditolak. Filsafat perennial menghendaki adanya pluralisme. Agama apapun namanya tetap dipandang sebagai suatu tradisi esoterik yang otentik yang mengandung satu pengetahuan dan pesan yang sama, yakni kebijakan abadi yang mesti menjadi pijakan kontekstualisasi agama itu dalam situasi apapun sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis atau pesan-pesan moral dalam keluhuran hidup manusia meskipun muncul melalui beragam nama (plural) dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol yang berbeda.

Keragaman bentuk agama bukanlah menjadi starting point tetapi bagaimana pemeluk suatu agama memandang dan memahami substansi ajaran agama yang keberadaannya di balik bentuk formalnya. Substansi ini bersifat transenden dan imanen sekaligus. Disebut transenden, karena substansi agama sulit didefinisikan karena tidak tercandra kecuali lewat predikatnya. Meskipun demikian agama juga bersifat imanen, sebab kaitan antara substansi dan predikat adalah merupakan hal yang niscaya, dan karena itu tak mungkin terpisahkan karena substansi agama hanya satu yaitu yang paling tinggi dan primordial, ia bersifat perennial.

Fritjhof Schoun (1976) seperti diadopsi Syamsul Arifin (1996) dan Sabrin (1999) melihat, bahwa setiap agama memiliki muatan substansial yang bersifat mutlak. Ia merupakan gabungan antara substansi (esoteris) dan bentuk (eksoteris) yang bersifat absolut tetapi relatif atau yang disebut Nasr dengan relatively absolute.

Pandangan filsafat perennial yang memandang kesatuan transendensi agama-agama dapat diprogramkan untuk menjadi agenda ke depan dalam upaya menciptakan stabilitas dan kerukunan umat beragama di Indonesia sehingga pemeluk agama yang berbeda dapat diterima sebagai tetangga dekat sekaligus tetangga rohani dengan tetap mendasarkan diri pada kerangka keterbatasan diri dalam memahami agama secara tepat dan menyeluruh.

Karena seperti diungkapkan Charles Davis (1980) dalam "Religious Pluralis" kesatuan tanpa keragaman menyebabkan manusia mengingkari kebebasan. Karena itu, pluralitas menyangkut iman dan moral harus tetap diterima. Menyangkut hubungan intern antara yang satu dan yang banyak dalam semua agama harus diberikan kepada yang satu sebagai sumber kreatif.

Muhammad HM S, pengajar FAI Universitas Muhammadiyah Palangka Raya


Tidak ada komentar: